Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.
HELLO.ID – Media-media memberitakan bahwa transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi IPK (IPK) Indonesia 2022 yang merosot.
Sebanyak empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 di 2021. Ini menjadi penurunan yang paling ekstrim sejak tahun 1995.
IPK yang jeblok ini menandakan bangsa kita adalah bangsa yang korup. Harus diakui bahwa korupsi ini masih menjadi kultur yang sistemik yang hingga saat ini masih terus mencengkram den menggerogoti Indonesia.
Bagaimana tidak hampir terdengar di semua sektor korupsi ini terjadi sehingga rakyat pun sangat pesimis dan jengah dengan kiprah pemberantasan korupsi.
Publik masih mendengar adanya kongkalikong deal-dealan pihak ketiga dengan pejabat pemerintah dalam rangka bagi-bagi jatah diluar aturan yang berlaku, mark up anggaran, suap proyek dan suap oknum penegak hukum.
Seperti kasus Jaksa Pinangki yang dengan mudah dikurangi masa hukumannya dan suap hakim agung Gazaba Saleh yang kini tengah diproses di pengadilan.
Publikpun mendengar bagaimana LPSK yang hendak disuap dalam penanganan kasus pembunuhan Ferdy Sambo, dan banyak lagi kasus-kasus korupsi lainnya yang tidak terungkap ke publik dan tidak tersentuh hukum.
Hingga kini masih terus dipertanyakan kinerja penegak hukum, seperti pada kasus Sumber Waras yang belum jelas ujungnya, Harun Masiku yang belum juga tertangkap.
Padahal logikanya lebih mudah untuk mengkasuskan lawan politik, contohnya kasus Lukas Enembe dan Formula E yang seperti dicari-cari kesalahannya.
Publik juga bisa melihat bagaimana penanganan konsorsium 303 atau judi online lainnya yang bukti transaksi keuangannya sudah dibuktikan oleh PPATK tapi hingga saat ini tidak terdengar tindaklanjutnya.
Jika hal-hal tersebut masih belum bisa diselesaikan maka tidak mengherankan jika publik merasa pesimis dengan pemberantasan korupsi hingga saat ini.
Dengan score 34 tersebut Indonesia menjadi negara yang lebih koruptif dibandingkan dengan Timur Leste yang baru saja merdeka, dan ini adalah yang terburuk dalam periode reformasi.
Ini juga menandakan gagalnya pemerintahan Jokowi dalam menjalankan agenda reformasi.
Intinya korupsi akan terus mencengkram negeri ini sebab will untuk memberantasnya masih tampak setengah hati dimata publik.
Memang korupsi harus diperangi secara bersama-sama oleh setiap komponen masyarakat, tapi tanggung jawab tentunya ditangan KPK dan pemerintah.
Artinya merosotnya IPK ini menjelaskan merosotnya kinerja KPK dan pemerintah dalam penanganan korupsi.
KPK harus di evaluasi, jangan-jangan KPK ini dibentuk hanya untuk membungkam lawan politik. Publik melihat indikasi ini setelah transformasi pegawai KPK jadi ASN.
Indonesia punya Menkopolhukam yang notabene mantan hakim pegiat anti korupsi, tapi yang ini juga yang menjadi pertanyaan kenapa IPK bisa jeblok?.***