Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
HELLO.ID – Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan perubahan skema subsidi KRL Jabodetabek menjadi berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) mulai tahun 2025.
Rencana tersebut telah menimbulkan banyak kontroversi.
Kebijakan ini, yang awalnya bertujuan untuk menargetkan subsidi secara lebih tepat sasaran.
Baca Juga:
KPK Periksa Mantan Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly pada Rabu Depan, Terkait Harun Masiku
Justru dapat berisiko menciptakan ketidakadilan dan menambah beban ekonomi bagi masyarakat pengguna KRL, terutama kelas menengah-bawah.
Dalam konteks ini, keputusan untuk menaikkan tarif KRL dan mengaitkannya dengan NIK tidak tepat dan memerlukan peninjauan kembali.
Subsidi yang Tidak Tepat Sasaran
Salah satu argumen yang mendasari kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa subsidi diberikan hanya kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, dengan memanfaatkan data NIK.
Namun, masalah yang timbul dari kebijakan ini adalah sulitnya proses registrasi dan verifikasi bagi kelompok masyarakat tertentu.
Baca Juga:
Kejagung Merespons Adanya Pendapat Hakim Agung Soesilo yang Berbeda dengan Hakim Agung Lain
Inilah 5 Cara Hentikan Batuk dengan Cara Sederhana, Termasuk Menambahkan Madu ke dalam Minuman
Pengguna KRL yang tidak memiliki akses mudah ke teknologi digital, atau mereka yang tinggal di daerah dengan infrastruktur internet yang kurang memadai, akan kesulitan dalam mendaftarkan NIK mereka untuk mendapatkan subsidi.
Selain itu, tidak semua masyarakat yang membutuhkan subsidi ini dapat terjangkau oleh kebijakan berbasis NIK, mengingat ketidakmerataan distribusi sumber daya di berbagai daerah.
Dampak pada Kelas Menengah – Bawah
KRL Jabodetabek merupakan salah satu moda transportasi vital bagi masyarakat kelas menengah-bawah di wilayah tersebut.
Banyak dari mereka yang bergantung pada KRL untuk perjalanan sehari-hari, terutama untuk bekerja.
Baca Juga:
2 Orang Pria Ditemukan Tergeletak Tak Bernyawa di Jalur Kereta Api Wilayah Jatinegara, Jakarta Timur
Sebanyak 52 Pejabat Kabinet Merah Putih Disebut Belum Serahkan LHKPN, Begini Penjelasan KPK
Kenaikan tarif, meskipun disubsidi melalui skema NIK, tetap akan memberikan tekanan ekonomi tambahan bagi mereka.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, kebijakan ini dapat memperburuk beban hidup masyarakat.
Menaikkan tarif KRL berarti mengurangi daya beli masyarakat kelas menengah-bawah, yang pada akhirnya dapat memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Kemungkinan Peningkatan Ketidakadilan Sosial
Penerapan subsidi berbasis NIK juga dapat meningkatkan ketidakadilan sosial, karena akses terhadap subsidi akan bergantung pada kepemilikan NIK dan proses registrasi yang seringkali rumit.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Masyarakat yang berada di lapisan sosial yang lebih rentan, seperti pekerja informal atau mereka yang tidak memiliki akses mudah ke layanan administratif, mungkin tidak mendapatkan subsidi yang seharusnya mereka terima.
Selain itu, ketidakadilan ini juga dapat terjadi pada kelompok masyarakat yang sudah berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian namun tidak dianggap “layak” menerima subsidi berdasarkan kriteria NIK yang diterapkan.
Alternatif yang Lebih Tepat
Daripada menaikkan tarif KRL dan menerapkan subsidi berbasis NIK, pemerintah seharusnya mempertimbangkan pendekatan lain yang lebih inklusif dan tidak memberatkan masyarakat.
Salah satunya adalah dengan mempertahankan tarif KRL yang terjangkau untuk semua pengguna, sambil meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan subsidi.
Pemerintah dapat mengembangkan mekanisme subsidi yang lebih transparan dan akuntabel, misalnya dengan melibatkan komunitas lokal dan pemangku kepentingan dalam menentukan penerima subsidi.
Selain itu, upaya untuk meningkatkan pendapatan dari sektor lain, seperti melalui pajak progresif atau retribusi dari sektor yang lebih makmur, dapat menjadi sumber dana alternatif untuk menutupi subsidi KRL tanpa harus membebani masyarakat pengguna.
Pemerintah juga dapat memperkuat infrastruktur teknologi dan administratif agar subsidi dapat diberikan secara lebih merata dan adil, tanpa menimbulkan kerumitan bagi pengguna.
Potensi Respon Negatif dari Masyarakat
Rencana kenaikan tarif KRL dan penerapan subsidi berbasis NIK juga berpotensi memicu respon negatif dari masyarakat.
Pengguna KRL yang selama ini merasakan manfaat dari tarif yang relatif murah bisa merasa diabaikan dan diperlakukan tidak adil dengan adanya perubahan ini.
Kebijakan ini juga bisa menjadi sumber ketidakpuasan yang dapat memicu protes atau aksi demonstrasi dari kelompok masyarakat yang terdampak.
Rencana menaikkan tarif KRL Jabodetabek pada tahun 2025 dan mengaitkan subsidi dengan NIK adalah kebijakan yang memerlukan pertimbangan lebih matang.
Meskipun tujuannya adalah untuk menargetkan subsidi dengan lebih tepat sasaran, kebijakan ini justru dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat kelas menengah-bawah.
Alih-alih memperbaiki ketepatan subsidi, kebijakan ini berpotensi meningkatkan ketidakadilan sosial dan menambah beban ekonomi bagi kelompok masyarakat yang paling rentan.
Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan ini dan mencari alternatif yang lebih inklusif dan adil.
Pendekatan yang lebih komprehensif dalam pengelolaan subsidi, serta peningkatan efisiensi dalam pengelolaan dana publik, dapat menjadi solusi yang lebih baik.
Untuk menjaga kesejahteraan masyarakat tanpa harus mengorbankan akses terhadap transportasi publik yang terjangkau.***