• KPK ungkap dugaan korupsi kuota haji bukan hanya terjadi 2024, tapi juga sebelumnya dan proses penyelidikan masih aktif serta terbuka terhadap kemungkinan pemanggilan pejabat.
• Polemik muncul dari alokasi tambahan kuota haji 2024 yang dibagi 50:50 untuk jemaah reguler dan khusus, yang dinilai rawan penyalahgunaan dan tidak adil bagi calon haji umum..
• DPR, ICW, dan Komnas HAM mendesak reformasi struktural sistem distribusi kuota haji agar lebih transparan, adil, serta terbebas dari konflik kepentingan birokrasi.
KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto memastikan bahwa proses penyelidikan kasus dugaan korupsi kuota haji khusus masih berjalan dan tidak berhenti.
Dalam pernyataannya di Lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jakarta, pada Sabtu (22/6/2025), Setyo menyebut bahwa perkara ini sudah terjadi bahkan sebelum tahun 2024.
“Ya, sebelum-sebelumnya,” kata Setyo Budiyanto saat ditanya soal potensi korupsi kuota haji pada tahun-tahun sebelum 2024.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia juga menekankan bahwa perkara ini masih berada dalam tahap proses penyelidikan dan belum naik ke tahap penyidikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
*Jadi, semuanya dalam tahap proses ya dan menunggu tahapan berikutnya,” lanjut Setyo menanggapi perkembangan penanganan kasus tersebut oleh lembaganya.
KPK sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa sejumlah pihak telah dimintai keterangan untuk memperjelas dugaan alokasi kuota haji khusus yang tidak sesuai prosedur.
Baca Juga:
Ngapain Razman Nasution Hadir di Sidang Nikita Mirzani? Reaksi Nikita Bikin Heboh!
Tarif Trump Bikin RI Tekor, Semua Rayuan Dagang Gagal Total
Dunia Jurnalistik Kehilangan Wina Armada, Tokoh Hukum Pers yang Visioner
Proses pemanggilan tersebut dilakukan secara bertahap sejak 20 Juni 2025, namun KPK belum mengungkap nama-nama yang telah diperiksa dalam tahapan awal ini.
Dugaan Penyimpangan Kuota Haji Khusus Jadi Sorotan Sejak Tahun 2024
Isu penyalahgunaan kuota haji khusus pertama kali mencuat pada 10 September 2024 ketika KPK menyatakan siap mengusut dugaan gratifikasi dalam pengisian kuota tersebut.
Langkah KPK ini dilatarbelakangi oleh desakan publik dan sejumlah temuan awal mengenai praktik tidak adil dalam distribusi kuota tambahan yang diberikan Kerajaan Arab Saudi.
Pada pelaksanaan ibadah haji tahun 2024, Pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan kuota sebanyak 20.000 jemaah untuk Indonesia yang kemudian dibagi secara 50:50.
Baca Juga:
Danantara Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi di Masa Depan
Nikita Diborgol di Sidang, Kasus Rp4 Miliar Meledak di PN Jaksel
Dari jumlah tersebut, Kementerian Agama mengalokasikan 10.000 untuk jemaah reguler dan 10.000 lainnya untuk jemaah haji khusus yang biaya dan fasilitasnya berbeda.
Pembagian kuota inilah yang kemudian dikritisi banyak pihak karena dinilai membuka ruang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh oknum birokrasi dan penyelenggara haji.
Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI bahkan menemukan kejanggalan dalam sistem distribusi dan transparansi pengelolaan kuota haji tahun 2024 tersebut.
Ketua Pansus Angket Haji, Marwan Dasopang, menyebut bahwa sistem 50:50 itu “tidak memiliki dasar peraturan yang kuat dan berpotensi dimanfaatkan secara sepihak.”
“Pembagian ini tidak adil bagi jemaah reguler yang menunggu antrean hingga belasan tahun, sementara jemaah khusus mendapat akses lebih cepat,” ujar Marwan di DPR.
Sejumlah pengamat kebijakan publik pun mempertanyakan apakah kuota tambahan haji tersebut dibagi dengan mekanisme transparan dan sesuai prinsip keadilan sosial.
Baca Juga:
Diskon Eksklusif Produk Furnitur Ruang Tamu dari Cellini
Jokowi Tolak Jadi Ketum PSI, Kaesang: Masak Bapak Lawan Anak?
Jasa Siaran Pers Persriliscom Melayani Publikasi ke Lebih dari 150 Media Online Berbagai Segmentasi
KPK Tak Tutup Kemungkinan Panggil Mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas
Dalam keterangannya, Setyo Budiyanto tidak menutup kemungkinan bahwa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga akan dipanggil jika dibutuhkan dalam proses penyelidikan.
Pemanggilan ini menjadi mungkin karena Yaqut merupakan pejabat yang menjabat ketika pembagian kuota tambahan tersebut dilakukan menjelang musim haji 2024.
Namun, KPK masih belum memberikan penjelasan detail mengenai posisi Yaqut dalam pusaran perkara, apakah hanya sebagai saksi atau memiliki peran yang lebih substansial.
“Semuanya masih dalam rangkaian proses dan bisa berkembang sesuai dengan hasil penyelidikan yang kami lakukan,” kata Setyo.
KPK menyatakan bahwa lembaganya tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam menangani perkara dengan muatan politis dan sensitivitas tinggi seperti sektor keagamaan.
Peneliti hukum dari ICW, Kurnia Ramadhana, menyarankan agar KPK membuka ruang partisipasi publik dan transparansi informasi agar prosesnya tidak disalahartikan publik.
“Penyelidikan kasus ini harus akuntabel dan objektif, karena menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara dan nilai-nilai ibadah,” ujar Kurnia (Sumber: icw.or.id).
Kasus ini juga menunjukkan urgensi reformasi tata kelola haji yang selama ini terlalu terpusat dan rentan terhadap tekanan politik maupun ekonomi.
Pengawasan dan Tata Kelola Haji Perlu Diperbaiki Secara Struktural
Banyak pengamat menilai bahwa perkara kuota haji khusus bukan sekadar soal individu, melainkan dampak dari lemahnya sistem pengawasan dan transparansi di sektor layanan keagamaan.
Distribusi kuota haji, baik reguler maupun khusus, selama ini masih bergantung pada keputusan internal kementerian tanpa mekanisme akuntabilitas yang terukur.
Dalam laporan BPK tahun 2023, disebutkan bahwa pengelolaan dana dan kuota haji masih menghadapi tantangan besar terkait audit data dan pelaporan yang tidak konsisten.
Kementerian Agama pun didesak untuk memperbaiki tata kelola dan membuka informasi kuota secara daring agar masyarakat dapat ikut mengawasi secara independen.
Usulan lain yang juga menguat adalah agar distribusi kuota haji khusus diawasi oleh badan independen yang terpisah dari kementerian sebagai bentuk checks and balances.
Wakil Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, mengingatkan bahwa sistem distribusi kuota ibadah harus menjunjung nilai kesetaraan, bukan justru menciptakan kasta baru dalam pelayanan.
“Keadilan sosial dalam pelayanan publik termasuk ibadah harus menjadi komitmen negara, tidak boleh ada ruang diskriminasi atau privilese ekonomi dalam ibadah,” ujarnya (Sumber: komnasham.go.id).***