JAKARTA – Gerbong investor nonresiden kembali mengarah ke Indonesia. Angka-angka terbaru dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan geliat yang signifikan.
Hingga pekan kedua Juni 2025, para investor asing tersebut, yang sempat memilih ‘cuti’ dari pasar keuangan domestik, kini mencatatkan beli neto sebesar Rp5,20 triliun.
Sebuah lompatan kecil, namun penuh makna, dari posisi awal Juni 2025.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertanyaan besar yang muncul: apakah ini pertanda baik atau sekadar riak sesaat sebelum badai?
Geliat ini tentu menjadi angin segar di tengah kekhawatiran global yang masih membayangi.
Pasar keuangan Indonesia, khususnya pasar Surat Berharga Negara (SBN), menjadi magnet utama. Investor asing tercatat membukukan beli neto fantastis sebesar Rp53,91 triliun di instrumen ini.
Baca Juga:
Ngapain Razman Nasution Hadir di Sidang Nikita Mirzani? Reaksi Nikita Bikin Heboh!
Tarif Trump Bikin RI Tekor, Semua Rayuan Dagang Gagal Total
Dunia Jurnalistik Kehilangan Wina Armada, Tokoh Hukum Pers yang Visioner
Angka ini seolah membantah narasi pesimistis yang sempat merebak. Sebaliknya, pasar saham justru masih dihantui aksi jual.
Secara kumulatif, hingga 12 Juni 2025, investor asing masih mencatatkan jual neto di pasar saham sebesar Rp47,54 triliun dan di Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp21,82 triliun.
Premi Risiko Melandai: Indonesia Semakin Seksi?
Indikator lain yang patut dicermati adalah penurunan premi risiko investasi atau credit default swaps (CDS) Indonesia 5 tahun. Ini bukan sekadar angka di atas kertas.
Penurunan CDS mengisyaratkan persepsi risiko yang membaik di mata investor global. Indonesia kini dianggap lebih ‘aman’ untuk berinvestasi.
Baca Juga:
Danantara Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi di Masa Depan
Nikita Diborgol di Sidang, Kasus Rp4 Miliar Meledak di PN Jaksel
Apakah ini buah dari kebijakan moneter dan fiskal yang pruden? Atau ada faktor lain yang lebih mendalam?
Sentimen ini kontras dengan volatilitas yang sempat melanda Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada Jumat, 13 Juni 2025, IHSG harus rela tergelincir 0,53% ke level 7.166,06.
Saham-saham berkapitalisasi besar atau big caps, seperti raksasa perbankan BBRI dan BBCA, serta tambang batu bara ADRO, menjadi biang kerok pelemahan ini
Fenomena ‘aksi profit taking’ atau penjualan untuk mengambil keuntungan, memang kerap terjadi setelah kenaikan signifikan.
Investor mungkin merasa perlu mengamankan cuan yang sudah didapat.
Kapitalisasi Pasar Melesat: Bursa Efek Membara!
Namun, jangan terburu-buru berkesimpulan negatif. Secara mingguan, data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) justru menunjukkan performa yang impresif.
Baca Juga:
Diskon Eksklusif Produk Furnitur Ruang Tamu dari Cellini
Jokowi Tolak Jadi Ketum PSI, Kaesang: Masak Bapak Lawan Anak?
Kasus Kuota Haji Diusut, KPK Singgung Praktik Korupsi Sebelum 2024
Kapitalisasi pasar BEI berhasil menembus angka fenomenal Rp12.495 triliun. Sebuah lonjakan 0,92% dibandingkan pekan sebelumnya.
Ini membuktikan bahwa meskipun ada gejolak harian, pasar modal Indonesia secara keseluruhan masih menunjukkan resiliensi dan potensi pertumbuhan yang kuat.
Investor lokal, meskipun seringkali ‘diganggu’ oleh pergerakan asing, tampaknya tetap setia dan bahkan turut berkontribusi dalam penguatan ini.
Investor Asing ‘Pulang Kampung’: Sinyal Apa Sebenarnya?
Kepulangan modal asing ini bisa diartikan sebagai beberapa sinyal penting.
Pertama, mereka mungkin melihat valuasi aset di Indonesia sudah cukup menarik setelah koreksi yang terjadi.
Harga-harga saham dan obligasi mungkin dianggap ‘diskon’ dibandingkan potensi fundamentalnya.
Kedua, ada kemungkinan mereka memproyeksikan stabilitas ekonomi makro Indonesia yang akan terus terjaga, bahkan di tengah ketidakpastian global.
Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang konsisten dalam menjaga inflasi dan nilai tukar Rupiah mungkin menjadi faktor pendorong.
Ketiga, dan ini yang paling menarik, investor asing mungkin melihat potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih menjanjikan.
Dengan populasi besar dan kelas menengah yang terus berkembang, pasar domestik menjadi daya tarik tersendiri.
Proyek-proyek infrastruktur, transformasi digital, hingga hilirisasi sumber daya alam, bisa menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Mampukah Indonesia Mempertahankan Momentum Ini?
Tantangan ke depan tentu tidak kecil. Fluktuasi harga komoditas global, kebijakan moneter negara maju, hingga dinamika geopolitik, akan terus menjadi faktor penentu.
Namun, dengan kembalinya kepercayaan investor asing, Indonesia memiliki modal besar untuk terus melaju.
Pertanyaannya, mampukah pemerintah dan regulator memanfaatkan momentum ini? Mampukah kita menjaga stabilitas dan menciptakan iklim investasi yang semakin kondusif?
Hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas, bola kini berada di tangan kita.***